Dongeng Anak Inodnesia - Zaman, ketika peri-peri dan tukang sihir masih berkeliaran memamerkan kesaktiannya. Ketika perang masih berkecamuk dimana-mana, ketika alam menjadi liar tanpa hawa, hiduplah dua kakak beradik, laki-laki dan perempuan. Mereka tinggal dalam istana yang indah. Bunga-bunga dan pohon buah-buahan tumbuh subur di kebun istana. Tangan-tangan tak terlihat mengatur semua itu. Hidup mereka sehari-hari, bagi kakak beradik itu sendiri merupakan misteri.
Di dalam perpustakaan istana, buku-buku membuka dan bersuara membaca sendiri. Mereka mengajarkan aneka pengetahuan kepada kedua bersaudara itu. Kedua anak itu tidak takut, karena sejauh mereka bisa mengingat, sejak dulu memang begitu keadaan istana mereka.
Ketika kedua kakak b eradik itu dewasa, mereka sering berdiri di menara istana dan memandang ke arah pedusunan. Apa yang mereka lihat membuat mereka tak ingin meninggalkan istana. Di sana selalu nampak ada perang. Pasukan-pasukan prajurit berderap merampas sawah ladang. Kadang-kadang mereka berperang sesama dan membakar rumah-rumah.
Ketika kedua anak itu masih kecil, gelombang pasukan itu sering kali berbelok ke arah istana. Mereka berfikir dalam istana indah itu pasti tersembunyi harta yang sangat berharga. Prajurit-prajurit itu benar. Istana itu di lengkapi dengan perabot-perabot yang mahal. Pakaian kedua penghuninya indah dan mewah. Peti perhiasan tergeletak begitu saja di meja hias si gadis. Peti-peti sarat dengan muatan emas ada dimana-mana.
Namun belum pernah ada seorang prajurit pun yang berhasil mencuri sesuatu dari istana tersebut. Istana itu seperti di kelilingi dinding yang tak terliat. Jika ada yang mencoba mendekat, udara di sekeliling dinding istana seolah-olah menebal dan menggulung mereka. Rasanya seperti berjalan di atas lumpur hidup, meski di sekitarnya yang nampak hanya pemandangan pedusunan yang aman dan damai. Sehingga orang-orang mengatakan bahwa istana itu di huni hantu. Mereka tak seorang pun berani mencoba berani mendekati istana tersebut.
Shihira, nama gadis itu, yang tak mengerti kehidupan lain di luar dinding istana. Dia sudah terbiasa di layani oleh pelayan-pelayan yang tak terlihat oleh mata. Seiryo, kakaknya, masih bisa mengingat ibunya yang cantik jelita serta ayahnya, seorang bangsawan tampan penguasa istana itu. Sering kali Seiryo berdiri memandangi sebuah patung di taman istana. Patung itu nampak cantik sekali. Mungkin dulu ada seorang wanita anggun yang sedang berjalan-jalan, yang kemudian tiba-tiba membeku menjadi batu.
“Ibu..., ibu...!” bisik Seiryo. “Mengapa ibu diam membeku? Aku yakin, kamu adalah ibuku. Mengapa aku dan Shihira tinggal dalam istana angker ini?” kata Seiryo sekali lagi. Ia menatap lekat wajah patung itu. Beberapa detik kemudian tanpa ia sadari, air mata membasahi pipinya yang tampan itu. Ia terisak pelan.
Pada suatu hari di musim panas, ketika Seiryo bersama adiknya sedang memandangi pedusunan dari puncak menara istana, mereka melihat ada perubahan. Tak ada lagi prajurit-prajurit yang berperang di sana. Penduduk keluar dari persembunyian mereka di gunung dan membangun kembali desa mereka yang porak-poranda. Kakak beradik itu tersenyum melihatnya dan merasa senang. Tiba-tiba mereka terkejut ketika muncul seorang penunggang kuda mendekati gerbang istana. Tak ada lagi dinding ajaib yang menghalanginya. Penunggang kuda itu masuk istana yang megah tersebut dan memanggil mereka.
“Perang telah usai! Majikanku, Panglima Janggut Merah, telah mengalahkan dan mengusir musuh. Negeri kita sudah aman. Dia adalah panglima yang pandai dan bijaksana. Tetapi sayang, dia tak bisa memecahkan rahasia Burung Biru. Para penasihatnya mengatakan, hanya mereka yang tinggal di istana angker ini yang dapat memecahkan rahasia itu. Di utusnya aku mengundang kalian untuk menghadapnya dan memecahkan misteri ini!” katanya menjelaskan panjang lebar. Seiryo dan Shihira sangat gembira mendengar penjelasan prajurit itu. Mereka juga merasa lega karena perang telah usai dan dinding ajaib yang mengililingi istana mereka tampaknya sudah hilang.
Sekarang Seiryo dan Shihira sudah bisa pergi ke desa sekitar, berkenalan dengan pemuda-pemudi yang sebaya dengan mereka serta hidup wajar seperti orang-orang lainnya. Tetapi Seiryo dan Shihira tidak tau apa-apa tentang Burung Biru. Apa yang harus di lakukan ? mereka juga tak ingin membuat Panglima Jamggut Merah marah. Tiba-tiba mereka mendengar suara merdu yang memanggil-manggil mereka. Terlihat patung wanita anggun itu tiba-tiba hidup kembali. Ia melangkah menghampiri mereka.
“Ibu!” serentak kedua kakak beradik memanggil wanita itu. Mereka berpelukan erat, seolah-olah seperti baru pertama kali bertemu. Pelan-pelan Shihira terisak.
“Perang sudah usai, begitu pula sihir yang melingkupi istana ini,” kata wanita itu sambil tersenyum.
“Bertahun-tahun yang lalu, ayah kalian pergi berperang bersama pasukannya. Kudengar dia gugur, lalu kesedihanku membuatku beku jadi batu. Kalian berdua tinggal sendiri, tapi Dewa Gunung merasa iba. Di sihirnya istana ini supaya kalian selamat sampai perang selesai. Kemudian dia mencari ayah kalian dan menemukannya dalam keadaan luka parah. Di sihirnya ayah kalian menjadi Burung Biru yang tinggal dalam sangkar emas. Dia berjanji, ayah kalian akan hidup bahagia di sanngkarnya sampai perang selesai.” Wanita itu menarik nafas panjang.
“Siapa pun yang berani mencoba menyentuh burung itu sebelum perang usai mereka akan berubah menjadi batu,” lanjut wanita cantik itu. Seiryo dan Shihira saling berpandangan serta menyimak kata-kata sang bunda.
“Tetapi jika salah satu dari kalian ke sana, dan berteriak ‘AYAH’, maka patung-patung itu kembali ke wujudnya semula. Sekaligus Burung Biru itu akan berubah menjadi sosok ayah kalian.” Kata wanita itu dengan gembira. Seiryo merasa sangat senang dengan apa yang di katakan sang bunda. Shihira mengusap air matanya dengan perasaan gembira pula. Ia mengikuti prajurit yang menunjukkan jalan ke tempat Burung Biru di lereng pegunungan.
“Ayah!” seru Shihira ketika sampai di tempat Burung Biru yang berada dalam sangkarnya. Ia menyentuh sangkar tersebut. Tiba-tiba berdiri di hadapan Shihira, seorang laki-laki yang di yakini sebagai ayahnya. Ia memeluk sang ayah erat. Seiryo dan wanita cantik itu pun berlari menyusul Shihira. Mereka semua menangis haru dengan pertemuan itu. Semua berpelukan erat dengan tangis bercampur bahagia. Permulaan kisah-kisah, serta keluarga baru yang begitu bahagianya kan menghiasi awal dari segalanya dan patung-patung di sekitarnya juga berubah kembali menjadi manusia. Semua selamat berkat kesaktian Dewa Gunung.
Dongeng Oleh Dita F
Dongeng Oleh Dita F